![]() |
clubbing.kapanlagi.com |
Hari minggu pagi memang paling enak jalan-jalan di kota. Karena tak punya kendaraan sendiri, naik bis kota pun jadilah. Sambil mesam-mesem sendiri di sebelah jendela bis yang isis, keluarlah beban pikiran seperti uap disapu angin. E lhadalah, lagi enak-enak mata ini menyapu pandangan, tampak seorang pria dengan santainya mengencingi pohon hias di taman pembatas jalan kembar. Ia tampak cuek meski puluhan mata menyaksikan adegan live tersebut. Pikiran yang sebenarnya lagi pingin santai mendadak terusik oleh pemandangan yang baru terjadi.
Sang pikiran bertanya, apa kira-kira yang mendorong pengencing tadi nekad mengencingi pohon hias taman ? Apa tak takut dikenai denda atau kurungan badan ? Jangan-jangan sebenarnya ia bermaksud baik, memupuk pohon dengan air seninya supaya pohon lebih nyeni ? Atau, ia hanya manusia sangat biasa yang saking kebeletnya tak sempat menggunakan pikiran sehatnya ?
Pikiranpun mengembara lebih jauh merangkai potongan-potongan kejadian menjadi sebuah gambar, gambaran watak bangsa.
Krisis Asia 1998 yang baru berlalu (seharusnya) meninggalkan pelajaran yang menjadi cambuk keras bangsa Indonesia. Semua negara Asia telah benar-benar pulih dari keterpurukan, kecuali Indonesia. Tapi, itu bukan satu-satunya kejadian besar yang patut dicermati. Sejak awal Indonesia berdiri hingga hari ini di era reformasi, banyak kejadian-kejadian yang sayang bila luput dari perhatian.
Yaitu, tentang sistem. Sistem apapun, baik itu ekonomi, pemerintahan, politik, sosial, agama, hukum dan sebagainya. Tidak satupun yang bisa terlaksana dengan baik.
Menurut Kwik Kian Gie, keturunan Tionghwa yang sangat loyal nasionalismenya itu, mengatakan bahwa aturan-aturan (khususnya ekonomi dan hukum) yang dibuat di Indonesia sangatlah ketat. Saking ketatnya sampai seekor lalatpun tak bisa masuk. Tapi mengapa ekonomi biaya tinggi, KKN, monopoli, dan oligopoli tetap berlangsung dengan nyaman ? Jawabnya adalah pelaksanaan lapangan yang tak pernah beres.
Salah satu penyebab, kita adalah bangsa yang rendah kepercayaan (low trust society). Sebagai bawahan misalkan, kita tak percaya pemimpin kita jujur. Sehingga daripada tidak “kebagian”, tidak ada salahnya kita menyelewengkan kewenangan. Begitu juga sebaliknya. Parahnya, penyelewengan di segala lini dan tingkatan ini sudah diketahui bersama, yang kemudian menimbulkan apa yang dikenal dengan “korupsi berjamaah”, atau TST, tahu sama tahu. Meski sulit dibuktikan, di suatu institusi pemerintah menetapkan setoran tertentu dari para bawahan kepada atasan untuk pungutan-pungutan illegal. Praktek demikian begitu umum, sehingga pembalakan kayu (illegal logging) misalnya, sulit diberantas tuntas. Seperti biasa, hanya teri-teri atau satu dua kakap yang dikorbankan. Yang lain tetap pesta pora seperti biasa.
Para pekerja biasanya tak percaya pihak top manajemen memperhatikan nasib karyawan bawahan, yang biasanya memang hidup kesrakat. Maka, setiap tahun angka UMR baru sulit dicapai kata sepakat kedua belah pihak. Sedangkan pihak top manajemen tak percaya pihak karyawan memahami kondisi keuangan perusahaan yang tak selalu dinaungi cuaca cerah.
Undang-undang, dan berbagai peraturan lain menjadi macan kertas. Dan, krisis kepercayaan telah begitu dalam berakar di masyarakat luas. Semua pihak merasa sulit menemukan pihak lain yang bisa dipercaya. Buntutnya, semua konflik atau ketidak beresan di institusi manapun (termasuk institusi keagamaan dan partai politik berbasis keagamaan) selalu berlarut-larut tak ada kejelasan penyelesaian. Buntut yang paling akhir, kita menjadi sekelompok bangsa yang kusut masai. Ruwet dengan berbagai persoalan yang berkelit berkelindan.
Harapan demi harapan sangat sering patah di tengah jalan. Harapan yang diletakkan di pundak pimpinan baru bangsa, acapkali berbuah kekecewaan. Bisa jadi karena sang pemimpin baru bukan orang yang tangguh, tapi bisa jadi pula keruwetan yang sangat kusut di semua lini struktural dan masyarakat, menenggelamkan kemampuan sang pemimpin sebagai juru mudi bangsa. Visi dan komando-komandonya tak terlaksana di tingkat-tingkat yang lebih bawah.
Setiap mata rantai (chain commands) yang menghubungkan antar tingkat terputus oleh pengkhianatan-pengkhianatan.
Kenyataannya, kita memang sudah terbiasa berkhianat, termasuk nurani kita sendiri. Bila nurani diibaratkan taman yang indah, seseorang yang setia menjaga hati tidak akan membiarkan rumput liar menciderai keindahan taman hatinya. Sebaliknya, dia akan terus berusaha menjadikan taman hatinya lebih indah dan lebih indah lagi.
Tetapi, kita telanjur menjadi bangsa sebagaimana kita saksikan lelaki di taman, mengencingi taman hati sendiri. Aneh, tapi itulah kenyataanya.
Hasbunalloh wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir. Semoga Allah segera menurunkan pertolongan bagi sekumpulan besar hambanya yang lemah hati ini. Amin.
photo : sukarnosuryatmojo.files.wordpress.com